STATUS KEPEMILIKAN ASET WARISAN

Sebagai orang timur, masyarakat kita sering mendahulukan perasaan dari pada aturan. Penegakan aturan sering terkendala dengan perasaan. Termasuk juga penerapan hukum Islam sering terkendala perasaan yang sangat subyektif.

Untuk pembagian warisan keluarga perlu ada kejelasan status kepemilikan harta benda oleh si mayit. Sementara masyarakat kita sering beranggapan bahwa “Memperjelas” status kepemilikan harta benda antara suami dan istri sebagai perbuatan yang kurang etis. Benarkah…?

Mereka berkata : “sudahlah milik sama sama aja”, ada juga yang berkata: “dengan istri saja kok hitung-hitungan sih” dan masih banyak lagi statement yang membuat seseorang tidak memiliki status kepemilikan yang jelas atas kekayaan pribadinya.

Lebih dari itu, undang-undang (KHI) malah menganggap kekayaan yang diperoleh selama masa menikah menjadi kekayaan bersama dan disebut sebagai harta gono-gini tanpa alasan yang logis dan realistis.

Dalam pengalaman saya menyelesaikan banyak permasalahan warisan keluarga, penyebab pertengkaran ahli waris dan rumitnya pembagian warisan adalah tidak jelasnya status kepemilikan atas sebuah asset warisan,
Contoh : Sebuah rumah kontrakan diklaim oleh salah seorang anak si mayit sebagai milik pribadinya, sementara klaim itu diingkari oleh anak si mayit yang lain dan ia menganggap bahwa rumah kontrakan itu adalah milik ayah (si mayit) yang harus dibagi sebagai warisan. Munculah pertengkaran.

Pertengkaran juga muncul jika rumah, tanah, kendaraan dan lainnya yang dibeli dengan uang suami secara murni seringkali diklaim sebagai milik istri juga. Apakah hal itu bisa dibenarkan ?, apa landasan hukum yang membenarkannya ?.

Dalam Islam terdapat banyak jalan resmi untuk memiliki harta benda yaitu: jual beli, hibah, hadiah,wasiat,jualah dan lainnya. Namun yang perlu kita catat adalah bahwa pernikahan tidak pernah diresmikan oleh Islam sebagai jalan untuk memiliki harta benda.

Di dalam sebuah pernikahan seorang istri hanya dapat memiliki kekayaan dari mahar, nafkah dan mut’ah. Status pernikahan tidak melegalkan seorang istri untuk mengambil harta suami semaunya dan begitu juga sebaliknya. Seorang suami tidak dapat menggunakan harta kekayaan istrinya kecuali dengan izin dari sang istri itu sendiri.

Untuk memperkecil potensi pertengkaran dalam pembagian warisan keluarga maka saya mengajak kepada semua untuk memperjelas status kepemilikan harta benda oleh masing-masing dari suami dan istri, karena memperjelas status kepemilikan sangat membantu menyelesaikan pembagian warisan dengan aman dan damai serta barokah.

Wallahu’alam.

 

Oleh: Ahmad Bisyri Syakur, MA

( Konsultan Zaid bin Tsabit Waris Center )

*

*

Top
Open chat
Assalamu'alaykum Wr. Wb. Dengan Zaid Bin Tsabit Waris Center disini ada yang bisa dibantu?